Tujuan utama datang ke kota Padang adalah untuk hunting foto di kota Padang, Bukittinggi dan sekitarnya.
Saya berangkat dari Jakarta menuju Padang menggunakan pesawat Garuda Indonesia dan mendarat di Bandara Internasional Minangkabau.
Harga tiket pesawat ke Padang untuk pulang pergi adalah Rp 1.672.000, harga yang cukup murah karena mengingat tanggal perjalanan saya adalah pada saat ada libur long weekend. Untuk perjalanan selama berada di kota Padang dan Bukittinggi, saya menyewa mobil Innova dengan rate Rp 750.000 per hari sudah termasuk sewa mobil, supir, dan bensin.
Pengalaman seru saya selama liburan di Padang dan Bukittinggi adalah masih banyak pemandangan hijau yang menyejukkan mata terutama di Bukittinggi. Disarankan bagi orang perkotaan seperti Jakarta yang penat dengan ibukota.
Tempat wisata di Padang yang bisa kamu dijumpai cukup lengkap, mulai dari sawah, pegunungan, pantai, hingga kegiatan sehari-hari warga yang menarik untuk difoto seperti proses penggorengan kacang kulit dengan menggunakan pasir dan proses memeras air tebu dengan menggunakan alat penggiling yang digerakan oleh Lembu.
Baca juga: Liburan Sambil Wisata Kuliner di Padang
Keliling tempat wisata di Padang
Nah, disini saya mau berbagi cerita perjalanan saya selama keliling tempat wisata di Padang sambil hunting foto bareng rekan-rekan fotografer.
Pacu Jawi
Setelah selesai sarapan di warung Soto Padang Angkasa, kami semua bersiap menuju Tanah Datar untuk sesi hunting Pacu Jawi yang memang sudah dipersiapkan untuk kami.
Pacu Jawi adalah olahraga tradisional remaja yang tinggal di Tanah Datar. Para pemuda setempat berlomba untuk menunggangi kerbau. Mereka memanfaatkan momen dimana sawah sudah selesai dipanen dan belum ditanami lagi.
Terdapat acara Pacu Jawi resmi yang diadakan melalui rapat kepala desa. Diluar tanggal-tanggal tersebut, kita juga dapat meminta event organizer untuk mengadakan event ini untuk sesi pemotretan.
Untuk Pacu Jawi kami kali ini juga diatur oleh EO. Harga pengadaan Pacu Jawi untuk 10 orang fotografer adalah Rp 5 juta dengan durasi acara sekitar 3,5 jam. Acara biasanya dilaksanakan jam 1 siang sampai dengan jam 3.30 sore.
Karena diadakan khusus untuk sesi foto, maka penonton acara ini tidak banyak sehingga lebih leluasa untuk memilih spot foto. EO juga menyediakan kursi kecil untuk duduk dan panggung tempat berdiri untuk foto dari atas. Kontak EO: Tommy 082169966292
Ada beberapa tips saat foto Pacu Jawi:
- Sebaiknya menggunakan baju lengan panjang karena cuaca di arena sangat panas.
- Jika ingin memfoto dari dekat, akan ada resiko baju terpercik lumpur, sehingga lebih baik menggunakan baju yang sudah tidak ingin dipakai lagi.
- Lensa yang dipakai adalah lensa Tele dengan range 70-200mm
- Menggunakan kamera DSLR dengan continous mode
- Menggunakan memory card dengan kecepatan mencatat cepat agar tidak banyak lag saat kita menggunakan continuous mode
- Cobalah beberapa sudut pengambilan agar dapat menemukan best spot anda sendiri
Jam Gadang
Kota Bukittinggi merupakan kota yang tidak terlalu luas, sehingga pusat kota dapat dilalui dengan jalan kaki. Kami pun berjalan kaki dari hotel menuju landmark kota Bukittinggi, yakni Jam Gadang.
Walaupun sudah malam hari, area di sekitar Jam Gadang masih sangat ramai dikunjungi orang-orang. Rupanya memang area ini merupakan pusat kota dan juga tempat tongkrongan orang Bukittinggi. Pengunjung bervariasi, mulai dari remaja, orang tua, hingga anak-anak. Di sini juga ada yang menyediakan jasa foto langsung jadi dengan latar belakang Jam Gadang.
Kami pun menghabiskan waktu untuk bernarsis dan bereksperimen di sini sebelum kembali ke hotel untuk beristirahat.
Sunrise di Puncak Lawang
Pagi di hari kedua, kami bangun subuh untuk hunting Sunrise ke Puncak Lawang. Namun karena kelelahan di hari sebelumnya, sebagian peserta tidak ikut dan melanjutkan tidur. Perjalanan menuju Puncak Lawang memakan waktu sekitar 1 jam dan melewati jalanan yang terkenal dengan sebutan Kelok 44, karena ada jalanan berliku-liku sebanyak 44 belokan.
Kami sempat berhenti sejenak di tengah perjalanan, yakni di Kampung Sungai Landai. Berfoto sebentar sebelum melanjutkan perjalanan kembali. Kami kemudian akhirnya berhenti di seberang Puncak Lawang karena menurut supir, pemandangannya lebih bagus.
Di sini kami bisa mengambil 2 jenis pemandangan. Pemandangan matahari terbit dengan foreground hutan, dan pemandangan Danau Maninjau dari atas (birdlevel). Karena berhenti di pinggir jalan jadi kami tidak perlu membayar biaya retribusi.
Setelah puas, kami kemudian diantar oleh supir ke Lawang Park. Untuk masuk ke sini, pengunjung dipungut bayaran Rp 10rb per orang. Di sini terdapat villa yang dapat digunakan untuk menginap, harganya juga tidak terlalu mahal, menurut supir kami.
Dari sini pemandangan yang dapat kami lihat adalah Danau Maninjau dari ketinggian, mirip dengan lokasi foto sebelumnya namun berbeda sudut saja. Area ini memang dirawat dan dibuat untuk tujuan wisata sehingga tempatnya sangat bersih dan bagus. Anda dapat memesan kopi untuk menemani anda menikmati pemandangan yang indah ini.
Melihat penggilingan tebu tradisional di Desa Lawang
Setelah matahari semakin terik, kami pun meninggalkan tempat tersebut. Di perjalanan pulang, tidak jauh dari puncak lawang, kami melewati desa Lawang, yang sebenarnya juga kami lewati saat datang.
Kami diajak singgah dan melihat alat penggiling tebu konvensional. Tebu dimasukan ke dalam lubang, lalu ada hewan Lembu yang matanya ditutup berjalan memutar sehingga membuat batang tebu tersebut tergiling dan bisa diambil airnya. Alat tersebut saat ini sudah tidak digunakan untuk produksi massal lagi, hanya untuk sesi foto.
Disitu juga kami melihat masyarakat setempat menggoreng kacang tanah menggunakan pasir dan di atas tungku api dari kayu. Kacangnya enak, tidak berminyak. Saya sempat mencoba kacang yang setengah matang juga.
Sebagai gantinya kami diperbolehkan untuk memotret, kami membeli jualan mereka. Kami membeli kacang dan gula aren. Gula aren ini dibuat dari tebu. Saya akui orang sumatera barat sangat pintar dan kreatif dalam menghasilkan uang.
Desa ini sejak dahulu kala merupakan penghasil tebu, karena saat jaman penjajahan Belanda terdapat pabrik gula pasir, sehingga masyarakat menanam tebu untuk jadi pemasok. Namun tiba-tiba pabrik ini tutup dan warga sudah terlanjur menanam tebu dalam jumlah banyak, akhirnya mereka berkreasi menggunakan tebu yang ada, salah satunya menjadi gula merah, this is amazing.
Ngarai Sianok
Salah tempat wisata di Bukittinggi yang terkenal adalah Ngarai Sianok atau sering juga disebut sebagai Great Wall Bukittinggi.
Ngarai Sianok adalah sebuah lembah curam (jurang) yang terletak di perbatasan kota Bukittinggi. Lembah ini memanjang dan berkelok sebagai garis batas kota dari selatan ngarai Koto Gadang sampai ke nagari Sianok Anam Suku, dan berakhir di kecamatan Palupuh.
Ngarai Sianok yang dalam jurangnya sekitar 100 m ini, membentang sepanjang 15 km dengan lebar sekitar 200 m, dan merupakan bagian dari patahan yang memisahkan pulau Sumatera menjadi dua bagian memanjang (patahan Semangko). Patahan ini membentuk dinding yang curam, bahkan tegak lurus dan membentuk lembah yang hijau—hasil dari gerakan turun kulit bumi (sinklinal)—yang dialiri Batang Sianok (batang berarti sungai, dalam bahasa Minangkabau ) yang airnya jernih.
Di zaman kolonial Belanda, jurang ini disebut juga sebagai karbouwengat atau kerbau sanget, karena banyaknya kerbau liar yang hidup bebas di dasar ngarai ini.
Tidak jauh dari Ngarai Sianok terdapat Terdapat objek wisata yang tidak kalah terkenal yaitu Lembah Takuruang. Kamu bisa parkir di Taruko Caferesto, dan kemudian masuk ke area café dan menikmati pemandangan lembah Takuruang. Batu besar sebagai fokus dan air sungai yang jernih sebagai foreground.
Café ini dulunya dibangun oleh investor dari luar negeri, namun setelah habis masa sewa tanah, café ini kemudian diambil alih oleh pemilik tanah.
Lembah Harau
Selesai mengisi perut dengan Nasi Kapao, kami melanjutkan perjalanan ke Payakumbuh. Perjalanan memakan waktu sekitar 2 jam. Karena memang Sumatera Barat terkenal dengan alamnya, di Payakumbuh pun objek yang kami kunjungi adalah lembah bernama Lembah Harau.
Jika memiliki banyak waktu kamu bisa menjelajah tempat ini lebih dalam. Saya hanya berhenti di 2 titik saja, yakni Lembah Echo dan Wisata Harau.
Di Lembah Echo, kami memarkir mobil di pinggir jalan, sedangkan Wisata Harau memang merupakan tempat yang dikelola untuk tujuan turis. Di Wisata Harau terdapat banyak atraksi, rumah gadang, masjid, jajanan makanan dan minuman.
Karena mengejar waktu ke lokasi berikutnya, kami pun tidak berlama-lama disini. Kami segera menuju daerah bernama Lubuk Bangku untuk memotret objek yang rasanya sudah terkenal hingga ke luar negeri yaitu Kelok 9.
Kelok 9 Lubuk Bangku
Lokasi Kelok 9 yang kami kunjungi merupakan lokasi yang baru dibuat, sebenarnya terdapat Kelok 9 yang orisinil, namun karena lebih mudah untuk memotret disini, maka kami pun kesini.
Tujuan foto kami adalah slow speed, jadi kami menunggu langit sedikit gelap sehingga kami dapat membuat garis-garis dari lampu mobil yang lalu lalang.
Tips untuk foto Kelok 9:
- Bawalah tripod
- Gunakan lensa wide
- Set kamera TV mode dengan lama waktu 5-10 detik
- Cari spot foto yang nyaman dan membuat Anda leluasa
Seperti kebanyakan fotografer lainnya, jika mendapat objek yang menarik pasti lupa waktu dan enggan untuk beranjak. Hal sama yang terjadi pada beberapa teman kami, hingga akhirnya langit sudah berubah menjadi sangat gelap dan kami pun akhirnya beranjak pergi dari tempat tersebut.
Kami langsung melanjutkan perjalanan kembali ke Kota Padang. Waktu tempuh yang dilalui sekitar 4,5 jam.
Wisata Pulau di Padang
Kami juga tak mau kelewatan untuk island hopping mengunjungi pulau-pulau di Padang. Tiga pulau yang sempat kami kunjungi adalah Pulau Pagang, Pulau Pamutusan, dan Pulau Pasumpahan. Saya menulis cerita perjalanan kami wisata pulau di Padang pada postingan berbeda. Silahkan dicek.